Oleh : Dory Agustia Rantawi
Pada dasarnya setiap Individu akan bereskpektasi tentang keharmonisan dan keindahan sisi hidup berumah tangga dengan memiliki anak-anak yang lucu dan tumbuh sesuai harapan dan arahan mereka. Segala prosesnya begitu mengesankan bagi setiap orang tua. Beberapa akan menganggap bahwa anak adalah sebuah anugerah dari Tuhan kepada pasangan makluk nya yang diyakini mampu untuk merawat dan memberikan kelayakan pada banyak aspek kehidupan mereka nanti. Beberapa lagi akan menganggap anak sebagai hadiah dari Tuhan untuk memberikan warna disetiap waktu yang dilewati kedepan.
Namun, ketika mendapat sebuah ujian dari Tuhan dengan menitipkan seorang anak yang lahir dengan kebutuhan khusus, tentu saja akan memunculkan pula berbagai perspektif dari setiap pasangan sebagai orang tua dari anak tersebut. Banyak hal yang akan dipikirkan dan banyak sisi kehidupan yang akan dipertimbangkan, tetapi hanya satu langkah yang diperlukan dan itu adalah penerimaan. Penerimaan yang luar biasa tulus dan ikhlas bagi orang tua dalam menghadapi anak nya yang lahir dengan kebutuhan khusus tersebut.
Bukan sebuah kemudahan bagi setiap orang tua dalam menerima kondisi tersebut. Tak jarang ditemukan pada era modern ini, orang tua yang masih memiliki pola berfikir yang “kolot”. Itu bukan sebuah kesalahan yang berat jika para orang tua teredukasi tentang anak berkebutuhan khusus. Namun sayangnya, hingga saat ini, keinginan untuk mengubah cara pandang terhadap anak berkebutuhan khusus dan edukasi tentang anak berkebutuhan khusus tersebut masih berjalan merangkak. Referensi yang minim dan di support oleh rasa ingin tahu yang tenngelam karena perasaan menyesal khawatir atau bahkan malu dan gengsi lebih tinggi.
Kesabaran, kesungguhan dan penerimaan yang baik, serta kerja sama kedua orang tua yang saling mendukung terbukti memberikan hasil yang baik dan bermakna bagi perkembangan anak dengan kebutuhan khusus. Namun tidak sedikit orang tua yang memperlakukan anaknya yang berkebutuhan khusus dengan tidak semestinya.
Tahapan penerimaan orang tua dalam menerima anak berkebutuhan khusus menurut Ross (2003), dalam bukunya “On Death and Dying” :
Tahap pertama denial (penolakan).
Tahapan ini dimulai dari rasa tidak percaya saat menerima diagnosa dari seorang ahli, perasaan orang tua selanjutnya akan diliputi rasa kebingun terselip rasa malu pada orang tua tentang keadaan anaknya untuk mengakui bahwa hal tersebut dapat terjadi di keluarga mereka. Keadaan ini menjadi bertambah buruk, jika keluarga tersebut mengalami tekanan sosial dari lingkungan yang kurang memahami tentang keadaan anak berkebutuhan khusus
Angry (kemarahan), kemarahan ini dilampiaskan orang tua pada hal-hal yang tidak jelas. Kemarahan bisa dilampiaskan kepada dokter yang mendiagnosa, kemarahan kepada diri sendiri atau kepada orang lain, bentuk lain kemarahan yaitu menolak untuk mengasuh anak berkebutuhan khusus.
Depression (depresi) dalam tahap ini terkadang muncul dalam bentuk rasa putus asa, tertekan dan kehilangan harapan.
Bargainning (menawar) orang tua berusaha untuk menghibur diri dengan pernyataan segala sesuatu yang 3 dikaruniakan Allah harus disyukuri apapun bentuknya,
Acceptance (peneriman). Pada tahapan ini, orang tua sudah berusaha menerima kenyataan dengan kehadiran nak berkebutuhan khusus dalam kelurganya baik secara emosi maupun intelektual.
Penerimaan diri orang tua terhadap anak berkebutuhan khusus perlu proses yang panjang, faktor yang mempengaruhi sikap orang tua dalam upaya agar mereka dapat menerima keadaan dan kehadiran anak sangat penting untuk perkembangan anak yang mengalami kebutuhan khusus ini, hal ini sebagai wujud rasa syukur atas nikmat yang Tuhan berikan. Ketika proses penerimaan terwujud dengan baik maka orang tua bukan hanya memberikan kesempatan dan ruang terbuka bagi anak. Tetapi juga memberikan mereka sebuah proses hidup yang baru untuk mereka membekali diri untuk kehidupan mereka dikemudian hari dengan lebih layak dan jauh dari perkiraan orang yang menutup diri.
Dampak yang akan dirasakan setiap anak berkebutuhan khusus biasanya akan sama namun tetap tidak terungkapkan dari dalam diri mereka kepada orang tua dan kepada sekitar mereka. Pada prinsip nya memang tidak mudah untuk mengerti anak berkebutuhan khusus namun ada yang selalu berusaha untuk mengayomi dengan cara mereka tersendiri. Berikut adalah beberapa dampak yang akan dirasakan jika sebagai orang tua atau kerabat yang tidak menerima kondisi anak dengan kebutuhan khusus :
Akan selalu terhambat
Sebuah kondisi yang harus disadari bahwa anak berkebutuhan khusus memiliki hambatan pada diri mereka baik itu kemampuan social, komunikasi, interaksi dan hal dasar yang biasa dimiliki oleh pada umumnya. Pada kondisi ini sebuah penolakan dari orang tua dan sekitar, tentu akan membuat si Anak semakin terhambat. Karena akan selalu terbatas pada rutinitas dan kompetensi monoton yang biasa mereka lakukan tanpa ada kemampuan baru yang harus nya mereka capai dan dapatkan atau bahkan memiliki rasa ingin tahu pada sesuatu yang menarik untuk anak tersebut.
Akan selalu terlambat
Pada kondisi kebutuhan khusus seperti autism, memiliki keterlambatan dalam perkembangan wicara misalnya. Sebuah tuntutan dari orang tua kepada anak atau bahkan therapisnya menunjukkan bahwa penerimaan belum sepenuhnya terjadi. Dan itu bukan sebuah komposisi positif dalam mewujudkan kemampuan si anak dalam melatih kemampuan wicaranya. Hasil yang ditunjukkan akan terlambat pula. Berbeda hal nya jika orang tua menjadi sebuah tim yang turut mensukses kan dalam mewujudkan kemampuan si anak maka kata terlambat dapat berubah menjadi sebuah proses dengan makna bahwa individu dapat memiliki kemampuan tertentu dengan cara dan waktu yang berbeda. Ketika kemampuan tersebut tercapai, maka tentu saja menjadi sebuah nilai baru dalam kehidupan baik si anak dan orang tua.
Inkonsistensi
Perubahan sikap dari orang tua kepada anak mereka yang berkebutuhan khusus menyebabkan banyak factor dalam kehidupan mereka juga tidak teratur dan terlihat berantakan. Pada case nya, menemukan bahwa orang tua yang ingin memberikan seorang anak dengan autism untuk dapat berkomunikasi, maka difasilitasilah si anak dengan seorang therapist. Seiring dengan waktu, maka si anak mulai bisa lalu kegiatan therapy dihentikan tanpa memberikan therapy lanjutan dari orang tua sendiri lalu dirasa si anak harus belajar kemampuan lain, maka di fasilitasilah si anak untuk kemampuan lainnya. Hal ini tentu saja sebuah memicu inkonsistensi pada kemampuan anak. Tanpa ada tindak lanjut dari orang tua berdasarkan sikap penerimaan sepenuhnya, tentu saja apapun yang di fasilitasi akan tetap konstan atau diam ditempat.
Tempered-tantrum
Sesuatu yang umum mungkin diketahui awam bahwa anak dengan kebutuhan khusus biasanya suka mengamuk atau marah tiba-tiba tanpa ada alasan yang jelas. Factor psikologis menjadi bagian pertama yang harus dipertimbangkan. Ada yang tidak sesuai dengan isi hati si anak dengan apa yang dikehendaki orang tua, akibat dari penerimaan yang belum sepenuhnya adalah meminta anak untuk melakukan apapun seperti anak regular pada umumnya, namun keterbatasan si anak akan membuat proses nya menjadi panjang dan tidak mudah, tentu saja memperngaruhi psikis si anak dan muncul perilaku-perilaku yang abnormal darinya.
Beberapa dampak diatas bisa dilihat jika kondisi orang tua belum menerima anak mereka yang berkebutuhan khusus. Tentu saja hal ini akan bisa dilihat jika kita memperhaitkan dengan gaya bersikap dan perilaku yang dimunculkan oleh si anak. Oleh sebab itu, edukasi terhadap anak dengan kebutuhan khusus harus lebih baik dan selalu terbuka dan sebagai orang tua sudah selayaknya jika mengupayakan diri untuk menerima anak dengan apapun kondisinya dengan tidak menaruh ekspektasi namun dengan memberikan ekspektasi anak itu sendiri untuk selalu lebih baik dan berkembang.