Oleh : Restiyanti Wahyudin, S.Psi
Mengutip laman Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), kata disleksia berasal dari kata Yunani dyslexia, yaitu ‘dys’ berarti kesukaran dan ‘lexis’ yang artinya berbahasa. Jika disusun, maka disleksia berarti kesukaran dalam berbahasa. Namun pada kenyataannya, kesulitan yang terjadi bukan hanya berbahasa, tetapi juga melibatkan domain kemampuan berbahasa lain, seperti kemampuan membaca, menulis, dan bahasa sosial. Kebanyakan orang beranggapan bahwa siswa yang mengalami disleksia dapat mempengaruhi tingkat intelegensia. Pada kenyataannya, siswa dengan kecerdasan tinggi maupun rendah bisa menderita disleksia. Sebut saja tokoh terkenal yang mengidap disleksia, Albert Einstein, John Lennon, Agatha Christie, dan masih banyak lagi. Jadi, jangan salah kaprah lagi ya.
Disleksia ini sudah ada sejak lama dan banyak ditemui di kalangan masyarakat umum. Bahkan di Amerika Serikat, 80% orang yang tidak mampu membaca dengan baik dipercaya menderita disleksia. Salah satu faktor penyebabnya adalah keturunan. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang memiliki anggota keluarga atau kerabat yang disleksia, memiliki risiko lebih besar untuk mengalami kondisi tersebut.
Bagaimana penanganan untuk siswa disleksia? Biasanya, teknik belajar harus melibatkan indra pendengaran, penglihatan, dan perasa. Contohnya, mendengarkan pelajaran atau cerita melalui rekaman audio supaya siswa bisa mendengarnya berulang kali. Dengan demikian, siswa dapat menunjuk huruf serta kata-kata yang didengar pada kertas. Berikut ada 3 metode pembelajaran bagi siswa disleksia:
- Metode Multisensori
Dengan metode ini, membaca harus menggunakan sebanyak mungkin indera: penglihatan, pendengaran, perasaan (taktil), dan kesadaran gerak (kinestetik). Semakin banyak indera yang digunakan, semakin banyak area otak yang akan dirangsang dan semakin efektif proses pembelajarannya. Contoh aktivitas yang bisa di berikan adalah dengan menulis huruf-huruf di udara, membuat huruf menggunakan play dough, menulis huruf menggunakan cat air dan ujung jari dan sebagainya. Aktivitas tersebut memungkinkan terjadinya asosiasi antara indera penglihatan, indera pendengaran dan sentuhan sehingga sangat membantu otak dalam mengingat kembali apa yang pernah di ajarkan.
- Metode Fonik (Bunyi)
Metode ini bertujuan untuk melatih kemampuan auditori dan visual anak dengan cara menamai huruf sesuai dengan bunyinya. Misalnya, huruf D dibunyikan de, huruf H dibunyikan dengan ha. Pasalnya, anak dengan disleksia bisa berpikir kata “es krim” hanya terdiri dari “s” dan “krim”.
- Metode Linguistik
Metode ini mengajarkan anak untuk mengenal kata secara utuh. Cara ini efektif agar anak tidak keliru mengenali kata-kata yang mirip. Cara ini juga mendorong anak untuk menyimpulkan sendiri pola hubungan antara huruf dan bunyinya.