Memahami Mengapa Anak Sulit Mengelola Emosinya

Penulis : Afifah Nurul Karimah, S.Psi

Bukan hal yang aneh ketika anak-anak prasekolah tiba-tiba menangis ketika ada hal yang mengganggunya, seperti misalnya saat mereka menggambar dan hasilnya jelek. Namun, kebanyakan anak usia 10 tahun ke atas sudah jarang memunculkan perilaku tersebut. Di usia ini, biasanya mereka lebih bisa mengatur emosi mereka.

Sayangnya, beberapa anak, atau mungkin semakin banyak anak yang mengalami tantangan cukup signifikan dalam mengelola emosi mereka, bahkan seiring bertambahnya usia mereka. Mereka mungkin masih memiliki ledakan kemarahan atau menjadi sangat marah ketika terjadi kesalahan atau hal yang tidak mereka sukai, atau menjadi mengalami suasana hati yang buruk terus menerus.

Tantangan-tantangan ini terkadang bisa menjadi masalah yang berdampak jangka panjang di masa dewasa sang anak. Stres dan kecemasan juga bisa berperan. Tetapi penyebab umum anak mengalami kesulitan dalam memanajemen emosinya adalah karena kurangnya pengendalian diri.

Anak-anak yang kesulitan mengelola emosi tidak hanya bergumul dengan emosi negatif. Mereka juga bisa terjebak dalam perasaan gembira yang berlebihan, beberapa terlalu bersemangat terhadap hal khusus tertentu.

Bagaimana ciri anak yang kesulitan dalam mengelola emosi?

  1. Cepat mengalami frustrasi atau mudah menyerah
  2. Khawatir terlalu berlebihan terhadap hal-hal yang kecil/tidak penting
  3. Sering merasa disakiti atau disalahpahmi/merasa sebagai korban
  4. Memiliki kesulitan melepaskan hal-hal yang membuat mereka kesal

Mengapa itu terjadi?


Anak-anak mengalami kesulitan dalam mengeloma emosi karena beragam alasan. Salah satunya adalah adanya masalah kesehatan mental yang belum stabil pada anak tersebut, terlebih pada anak-anak yang mengalami trauma.

Selain itu, pada anak-anak yang berkebutuhan khusus, sangat umum bagi anak-anak dengan ADHD mengalami kesulitan mengelola emosi. ADHD berkaitan juga dengan adanya masalah dengan fungsi eksekutif di sistem otak mereka, fungsi eksekutif ini berperan dalam keterampilan mental yang mencakup pengendalian diri.

Banyak anak dengan ADHD menjadi lebih baik dalam mengelola emosi saat mereka berkembang dengan didukung intervensi yang baik dan intensif. Tetapi, ADHD adalah kondisi seumur hidup, dan beberapa kasus pada anak dengan ADHD terus mengalami masalah dalam pengelolaan emosi hingga remaja dan dewasa.

Jika anak nampak mengalami kesulitan dalam pengelolaan emosi, saat emosi nya muncul dan sulit diregulasi, maka salah satu peran pendidik yang bisa dilakukan bisa dengan melabel emosi yang muncul pada anak, memvalidasi emosi tersebut seperti ‘kamu tampaknya sangat sedih’, dan jangan menunjukkan atau bereaksi terhadap emosi yang muncul secara spontan, misalnya ketika anak berteriak karena kesal, pendidik tidak seharusnya mengimitasi ekspresi yang sama (contoh: nada suara juga ikut tinggi), tetapi tetaplah tenang dan berbicaralah dengan nada yang datar sekaligus menenangkan diri mereka.

Referensi :

www.understood.org