Oleh: Imarotul Masiroh, S.Psi
Kemampuan mengelola emosi marah adalah salah satu hal yang sangat penting untuk terus dikembangkan, khususnya pada siswa dengan special need. Mereka yang terlatih untuk mengelola emosinya, akan mampu menjalankan aktivitas harian dengan jauh lebih produktif. Konflik dengan orang-orang di sekitarpun bisa dihindari. Seringkali emosi marah ditunjukkan dengan cara yang agresif karena ketidaktahuan anak-anak bagaimana mengelola emosi marahnya. Rasa frustrasi karena mereka tidak menyampaikan alasan ketidaknyamanan mereka dapat semakin memperburuk situasi.
Mengelola emosi marah bukan berarti mengabaikan atau memendam emosi. Justru salah satu latihan pertama yang dilakukan dalam mengelola emosi marah adalah dengan mengajak anak-anak memberikan nama dari emosi yang dirasakan lalu pada tahap lebih lanjut meminta mereka menjabarkan apa saja penyebabnya. Saat mereka belum siap untuk diajak berbicara, arahkan mereka untuk melakukan hal-hal yang membuat mereka rileks dan tenang seperti mendengarkan lagu, mewarnai, atau bahkan mungkin menangis. Namun, orang tua tetap harus melakukan kontrol aktif dan memastikan bahwa cara pengelolaan emosi yang dilakukan anak-anak sehat dan aman. Saat mereka sudah merasa tenang, ajak untuk berdiskusi dan berikan arahan sesuai dengan situasi yang sedang terjadi. Anak-anak adalah peniru ulung. Sehingga sangat penting bagi kita orang dewasa mencontohkan cara mengelola emosi marah yang sehat. Contohkan bagaimana menyampaikan emosi marah dengan cara yang asertif. Dengan nada bicara yang tenang (tidak berteriak) dan menggunakan pilihan kata yang baik (tidak kasar).
Pada anak-anak dengan special need, latihan mengelola emosi marah akan membutuhkan waktu yang lebih lama serta pendekatan yang berbeda menyesuaikan dengan kebutuhan mereka. Mulailah dengan membuat capaian-capaian sederhana dan terstruktur yang dilakukan dengan konsisten.
Contoh 1:
A adalah anak dengan special need yang menunjukkan perilaku destruktif dalam mengekspresikan marahnya. A bisa memukul tembok, menendang tong sampah atau membanting barang-barang di sekitarnya saat marah. Alih-alih memberikan capaian yang tinggi, kita bisa mulai memberikan pengarahan fokus agar A dapat mengurangi perilaku destruktifnya. Jelaskan pada mereka bahaya dan dampak negatif yang ditimbulkan atas perilakunya. Misal, jika A membanting handphone saat marah, handphone tersebut akan rusak dan tidak dapat digunakan kembali. Arahkan mereka agar melepaskan amarahnya dengan cara yang lebih aman. Jika diperlukan, buatlah daftar yang dilengkapi dengan gambar tentang hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat marah. Lakukan terus dengan berulang hingga anak-anak benar konsisten tidak menunjukkan perilaku destruktif
Contoh 2:
B adalah anak yang suka memendam emosi marahnya. Ia cenderung menutupi atau menghindar ketika diminta menceritakan emosi marahnya. Namun, dalam sehari-hari B bisa tiba-tiba terlihat moody dan tidak semangat menjalankan aktivitas sehari-hari. B juga bisa tiba-tiba menggunakan nada bicara yang tinggi saat diajak mengobrol. Emosi marahnya ditunjukkan dengan cara agresif seperti menghentakkan kaki atau membanting barang. Latihan awal dilakukan dengan B menuliskan emosi yang dialami dan penyebabnya secara rutin. B juga diminta menyampaikan secara verbal sehingga perlahan ia nyaman menyampaikan ketidaknyamanan dan kebutuhannya.
Orang tua dapat terus melatih dan mendampingi anak-anak dalam mengelola emosi. Tanamkan bahwa semua emosi adalah respon alami dari diri. Sampaikan juga bahwa rasa tidak nyaman dari emosi marah hanya berlangsung sementara dan juga dapat dikelola dengan latihan.